Hati hati Pemurtadan (Kristenisasi) tak Terbantahkan Lagi



Buku saku itu, sepintas cocok dibaca oleh pemeluk Islam. Jalan Kepada Allah. Salah satu relawan dari Hizbut Tahrir, Mujiyanto, tercengang ketika melihat banyak sekali buku saku tentang Yesus bertebaran di kapal motor Verona yang ditumpanginya menuju Calang, Kabupaten Aceh Jaya. Mulanya, dia cuma mendapati satu buku di dekat nakhoda. Namun, saat ditelisik lebih jauh, buku itu berserakan di mana-mana.

''Ini pasti ada maksudnya supaya orang yang naik kapal bisa membaca itu. Kondisi Aceh betul-betul dimanfaatkan,'' katanya. Fakta itu pun menguatkan pemahamannya soal adanya upaya pemurtadan di balik
misi kemanusiaan membantu korban Aceh. Temuan tersebut, katanya, menguatkan bukti bahwa Kristenisasi benar-benar terjadi di Aceh setelah gempa dan tsunami menerjang.

Buku saku itu, sepintas cocok dibaca oleh pemeluk Islam. Judulnya, Jalan Kepada Allah. Padahal, isinya bicara soal ajakan mempercayai Yesus. Mereka yang tidak teliti, bisa terkecoh. Buku tersebut diterbitkan Missionary Pres Inc dengan alamat Po Box 120 New Press Indiana 46553, USA. Di Indonesia, lembaga tersebut beralamat di Tromol Pos 805 878 Surabaya Yallki-EHC.
Pada bagian dalam sampul ditulis seruan berbunyi, ''Buku ini diterbitkan oleh YALKKI-EHC kepada orang-orang Kristen, keluarga Kristen, orang-orang yang berminat dan rela untuk menerimanya.'' Di situ juga tertulis frasa 'tidak ada paksakan' dengan huruf besar dan dicetak tebal. Dia mengakui bahwa memang upaya pemurtadan yang dilakukan secara terang-terangan itu tidak mudah terlihat. Kebanyakan aktivitas tersebut dilakukan tersamar dan jejaknya dikaburkan.
Yang jelas, menurutnya, lembaga-lembaga berbendera Kristen terlihat begitu giat beraktivitas di Aceh. Sebagian mereka berterus terang mengibarkan bendera Kristennya dan sebagian lain sembunyi-sembunyi dengan mendompleng lembaga kemanusiaan yang namanya berkesan netral. Senada dengan Mujiyanto, Manajer Relawan Dompet Dhuafa Republika, Veldy Verdiansah Armita, juga mengatakan hal yang sama. Penemuan selebaran misonaris itu dia dapatkan sewaktu mengadakan seleksi guru pada 10 Januari lalu di Banda Aceh.
''Ada guru yang melaporkan kepada saya bahwa dua warga negara Barat membagikan majalah kepada anak-anak pengungsi. Setelah dilihat isinya tentang ajaran agama Kristen,'' ungkapnya. Mendengar laporan tersebut, Veldy pun langsung meminta salah satu contoh majalahnya. Sang guru pun membawa majalah yang di antaranya bertuliskan 'Menuju Kerajaan Yehuwa'.
Atas kejadian itu, Veldy lalu mencari petugas di Satkorlak bencana di Pendopo Gubernuran Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Di tempat itu, dia berbicara dengan salah satu petugas yang mengaku dari Departemen Luar Negeri. Ternyata petugas itu mengungkapkan bahwa Indonesia adalah negara terbuka sehingga bebas bagi siapa saja untuk menyebarkan ajaran yang diyakininya. Namun, menurutnya, sebagian relawan kaget mendengar kabar itu, karena selama ini mereka baru mendengar informasinya secara sepintas.
Tak hanya umat Islam yang geram dengan adanya misi penyebaran agama di balik aksi kemanusiaan itu. Uskup Agung Kardinal Julius Darmaatmaja juga mengaku tidak sepakat dengan cara-cara seperti itu. Dia sendiri berjanji untuk tidak 'macam-macam' dalam ikut membantu menangani korban tsunami di Aceh dan Sumatra Utara.
Bantuan untuk para korban, kata dia, tentunya semata-mata merupakan bantuan kemanusiaan dan tidak boleh disalahgunakan. ''Semua semata-mata berdasarkan kemanusiaan. Kami dari pihak Katolik tidak akan macam-macam,'' tegasnya usai mendampingi utusan khusus Paus Paulus Johanes II, Paul Josef Cordes, menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (1/1). Cordes datang ke Indonesia untuk menyampaikan surat khusus dari Paus Johannes Paulus II terkait dengan rasa keprihatinan yang mendalam terhadap bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatra Utara.
Darmaatmadja secara khusus juga memberi komentar soal aktivitas WorldHelp yang mengangkut 300 anak Aceh ke luar daerahnya. Menurutnya, Paus tidak memperkenankan umatnya menjalankan praktik-praktik seperti aktivitas WorldHelp. ''Adalah sangat tidak manusiawi mengambil anak-anak dibawa pergi jauh. Kalau Paus mengetahui, Paus juga akan mengatakan itu tidak boleh terjadi,'' ungkapnya. Namun, dia menjelaskan bahwa kasus WorldHelp tidak dibincangkan dalam pertemuannya dengan Presiden.

(Diambil dari artikel Republika)


Category Article

What's on Your Mind...

Silahkankan berkomentar disini